Minggu, 15 Mei 2011

Cerpen : Indahnya Bersabar (I)

Terceritakanlah seorang anak bernama Witsa. Witsa tinggal di perkampungan kumuh yang rata-rata warganya berpenghasilan rendah. Keluarga Witsa termasuk yang cukup makmur. Rumahnya termasuk yang paling bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain. Maklum, ayahnya adalah bekerja sebagai pegawai kantoran. Pekerjaan penduduk lain rata-rata hanyalah bertani, berdagang, dan bahkan menganggur. Witsa bersekolah di SMA Penerus Bangsa. Letaknya tak jauh dari rumahnya. "Ayah, Ibu, aku berangkat ya." Witsa pamit kepada orangtuanya untuk berangkat sekolah sambil mencium tangan mereka. Dengan beralaskan sepatu yang sudah hampir tidak layak pakai, dia pun berjalan. Di jalan, ia bertemu dengan beberapa teman-temannya. Penampilannya agak lusuh.
"Halo, Witsa!" Sahut Erik.
"Oh halo, Erik, Mila!" Jawab Witsa.
"Kau masih menggunakan sepatu itu? Ayahmu kan cukup mampu, mengapa kau tidak meminta dibelikan yang baru?" Tanya Mila.
"Aku tidak ingin membuat orang2 memandangku tinggi. Lagipula ini masih bisa dipakai." Jawab Witsa.
Mereka pun melanjutkan perbincangan dan sampailah di sekolah. Pada hari itu dibagikan nilai Ulangan Tengah Semester. Witsa mendapatkan nilai tertinggi di semua mata pelajaran, khususnya TIK. Ia memang gemar mengulik game-game yang ada di rumahnya.
Ia pun pulang ke rumahnya untuk memberi kabar bahagia tersebut kepada orangtuanya. Seperti biasa ia berjalan kaki menuju rumah. Aneh, tak seperti biasanya, jalanan cukup sepi. Witsa pun bingung, ada apa ini. Ia pun meneruskan langkahnya. Saat sampai di depan rumahnya, ada pemandangan lain. Hampir semua warga ada disana. Ia pun menerobos masuk karena penasaran dengan apa yang terjadi. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan memang benar, ayahnya meninggal.
Sontak Witsa berlari menghampiri jasad ayahnya yang dibaringkan di tengah rumah. Ia menangis, memanggil manggil ayahnya.
"Ayah!! Ayaah!! Jangan pergi! Ayaaaaah!!" Teriak Witsa.
Namun teriakannya maupun suara pengajian tidak akan bisa membangunkan orang yang sudah tiada.
Tiba tiba seseorang datang menghampiri Witsa yang sedang memeluki tubuh ayahnya.
"Nak, sudahlah, kita do'akan saja, kita tidak tahu kapan akan dipanggil. Ayahmu meninggal karena sakit jantung mendadak saat bekerja di kantor. Semua itu kehendakNya." Sang ibu menenangkan Witsa. Namun ia tetap menangis.
"Do'a seorang anak shaleh akan lebih baik daripada tangisanmu itu." Ibunya menambahkan.
Witsa hanya terdiam dan pergi ke kamarnya. Ia merenungi kematian ayahnya, kemudian berdo'a.
"Ya Allah, jika ini memang keputusanmu, aku terima. Aku hanya ingin orangtuaku bahagia. Jangan biarkan api neraka menyiksanya, ayahku adalah seorang yang sangat baik. Jasanya padaku sangat banyak. Sebagai anak yang shaleh aku hanya bisa mendoakannya. Oleh karena itu, maafkanlah semua kesalahan-kesalahnnya ya Allah, amin."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar