Senin, 16 Mei 2011

Unimportant

X : Untuk apa kita hidup.
Y : Untuk apa kau bertanya seperti itu.
X : Aku tidak bertanya, aku berpendapat.
Y : Lah jelas-jelas tadi kau bertanya.
X : Enak aja, mana buktinya? aku ga pake tanda tanya di ujung kalimatku tadi.
Y : Mana bisa aku ngeliat tanda tanya di kalimatmu.
X : Loh, loh gausah marah dong!
Y : Siapa yang marah? mana buktinya? aku ga pake tanda seru di kalimatku tadi.
X : #$%^&*(*% Gue, lo, END.

(??)

Puisi

Pandangan Pertama

Saatku melihatmu
Terbayang di benakku
Seorang gadis
BIasa saja..
Namun sesuatu menggangguku
Sesuatu yang membuat jantungku berdegup begitu hebatnya
Mengalirkan getaran-getaran cinta di setiap nadiku
Membawaku ke alam fantasi tiada tara
Seketika itu, aku menjadi gila
Gila karenamu
Gila olehmu
Satu per sekiandetik pun tak ingin kulewatkan
Memandangimu, keindahanmu
Berharap kau membalas tatapankasihku
Seketika itu pula terlintas di pikiranku
Kau memang cantik








X IPA 1

Mereka anggap kita yang terpilih
Mereka anggap kita yang terbaik
Mereka anggap kita nomorsatu
Ya, itu benar
                Walaupun sebenarnya
                Kita bukan apa-apa
                Tak ada yang istimewa
                Semuanya sama
Hanya kekompakkan yang utama
Hilang satu, yang lain berduka
Tiada hari tanpa tertawa
Susah senang hadapi bersama
                Walaupun takkan lama kita bersama
                Perjalanan ini tak akan terlupa
                IPA 1 yang kucintai
                Kau..memang pas di hati









Arti Pertemanan

Saat aku butuh
Saat aku terjatuh
Kau hadir menemani
Teman..

Apapun kan kaulakukan
Apapun kan kauberikan
Demi menjaga sebuah kata
Pertemanan

Salah paham hal yang biasa
Jangan sampai itu merusaks emua
Karena kita ada untuk bersama
Kita untuk selamanya











Bangun Semangat

Kubangun gedung di sana-sini
Semua orang melantunkan namaku
Tak perlu lagi kumencari uang
Hidup makmur penuh ketenaran

Seketika aku bangun
Ternyata semua itu hanya mimpi
Tapi untuk apa aku bersedih
Karena aku siap untuk meraih impianitu
















Cerpen : Indahnya Bersabar (II)


Beberapa hari telah berlalu setelah kematian ayahnya tersebut. Witsa tak pernah kehilangan semangatnya untuk hidup. Di sekolah pun ia tetap mendapatkan peringkat tertinggi. Bahkan ia jadi lebih sering menyisihkan hartanya untuk orang2 yang membutuhkan.
"Wits, kau tidak terpukul atas kematian ayahmu?" Tanya Mila di sela-sela istirahat.
"Cukup aku mendo'akannya disini. Mungkin ia sudah tenang disana." Jawab Witsa santai
"Tapi kau memang hebat, walaupun cobaan berat sedang kau hadapi, kau seperti tidak kehilangan semangat." Erik menambahkan.
Witsa hanya tersenyum. Mereka pun melanjutkan perbincangan. Lalu tiba-tiba Witsa berkata seperti ini.
"Aku ingin pergi menyentuh Ka'bah."
"Kau serius?! Tapi darimana kau akan mendapatkan uang untuk itu?" Tanya Erik.
"Aku serius. Aku sudah memimpikan bisa pergi ke sana. Aku sudah mengumpulkan uang bahkan dari kelas 6 SD." Jawab Witsa.
"Wah.. Kalau boleh tahu sudah berapa uang yang kau kumpulkan, Wits?" Tanya Mila.
"Belum banyak sih, hehe. Aku hanya menyisihkan 1rb per hari. Kalau tidak salah sudah 14 juta." Jawab Witsa.
"Ayo teruskan, Wits! Itu kan sudah banyak." Erik menyemangati.
Keinginannya untuk pergi haji muncul saat kedua orangtuanya pergi haji, saat ia masih duduk di bangku kelas 6 sd. Ia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari uang jajannya. Dia tetap tidak lupa menyisihkan uang untuk orang-orang yang membutuhkan. Setiap hari ia selalu bermimpi bisa menyentuhkan kakinya ke tanah suci itu.
Suatu hari, sekolah Witsa sedang libur. Ia pun tidak kemanamana.
"Ibu, kau tidak kemanamana kan? Aku akan membantumu." Witsa agak berteriak karena ibunya sedang berada di kamar.
Namun tidak ada jawaban. Ia pun penasaran lalu masuk ke kamar. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari ibunya. Di wajahnya terdapat benjolan benjolan berwarna merah. Ditambah lagi baunya tidak sedap.
"Witsa! Kau tidak bisa melihat ibu seperti ini!" Ibunya berkata sambil sedikit menangis.
"I..ibu! Apa yang terjadi dengan wajahmu ibu!" Witsa berkata dengan sedikit terkaget.
"Ibu tidak tahu nak, saat ibu bangun wajah ibu seperti ini. Apa kata orang orang nanti." Ibu berbicara dengan nada sedih.
"Kalau begitu ibu jangan keluar rumah, biar aku yang menggantikan semua urusanmu." Jawab Witsa.
Witsa pun pergi berbelanja ke pasar. Di pasar ia pun ditanya oleh teman2 ibunya.
"Loh, Witsa. Ibumu kemana?" Tanya salahsatu ibu-ibu
"Ibu sedang sakit." Jawab Witsa.
"Sakit apa? Jangan-jangan ibumu main nakal ya semenjak ditinggal bapakmu."
"Astagfirullah! Ibu saya tidak pernah melakukan hal itu!" Tentang Witsa.
"Kalau begitu kenapa tidak keluar rumah? Pasti terkena penyakit yang menjijikan."
"Satu-satunya yang menjijikan adalah mulut kalian yang cuma bisa memfitnah!" Witsa menjawab cacian dari teman-teman ibunya itu dan langsung meninggalkan mereka.
Ia tidak habis berpikir ada yang berkata seperti itu. Tapi apa jadinya kalau ibu-ibu tadi menyebarkan isu tak sedap tentang ibunya. Dan benar saja, esok harinya setiap orang yang lewat di depan rumahnya langsung mencibir.
Bahkan ada yang terang2an mengejek. Witsa tetap sabar. Ia tetap merawat ibunya sambil memikirkan bagaimana menyembuhkan penyakit ibu.
Ah, Witsa teringat sesuatu. Ia mempunyai uang yang ia tabung untuk pergi haji. Tapi itu adalah uang hasil kerjakeras selama 4 tahun. Jika uang ini ia pakai, ia harus mengumpulkan lagi dan niat pergi haji pun terpaksa diurungkan. Ia pun berdo'a, "Ya Allah, aku tidak akan pergi haji jika ibuku dalam keadaan sakit. Aku rela semua uangku dipakai untuk menyembuhkan ibu. Yang penting ibu sembuh ya Allah."
Akhirnya ia membawa ibu ke dokter. Namun ternyata, biayanya sangat tinggi. Uang yang ia miliki pun masih tidak cukup. Ia tetap berusaha mencari alternatif lain namun tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit ibu.
Penyakit ibu semakin parah.
Bukan hanya wajah, kini sekujur tubuhnya pun terkena.
"Nak, kau tak perlu repot2 membawa ibu kesana kemari. Dirawat olehmu saja ibu sudah senang." Ibu menenangkan anaknya.
"Bu! Apapun yang terjadi, apapun kata orang-orang tentang dirimu, aku tak peduli. Aku akan tetap merawatmu sampai kau sembuh! Meskipun kita harus menjual semua harta kita." Witsa menegaskan tekadnya. Ibu menangis mendengar ucapan Witsa.
Satu persatu harta mereka pun dijual. TV, kulkas, radio, semua dijual. Namun masih tetap belum mencukupi untuk biaya rumah sakit. Akhirnya terpintas di benak terakhir mereka yaitu menjual rumah yang mereka tumpangi. Naas saat penjualan, mereka ditipu, sehingga uang pun tidak mereka dapatkan. Alhasil mereka kehilangan rumah. Mereka pun membuat gubuk dari kardus di pinggiran kampung. Mereka semakin dikucilkan oleh penduduk sekitar. Apadaya, mereka tak bisa berbuat banyak. Tiba-tiba dari kejauhan muncul seseorang yang mereka pun tak pernah mengenalnya. Orang itu mendatangi kediaman mereka.
“Assalamu’alaikum wr wb.” Salam orang tersebut.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Maaf, siapa Tuan?” jawab Witsa
“Aku pendatang di kampung ini, namaku Ali. Aku datang kesini karena mendapatkan pesan dari atasanku. Benar kau yang bernama Witsa?” kata orang tersebut.
“Ya. Ada apa?? Jawab Witsa
 “Baiklah. Di dalam ada ibumu?”Tanya Ali.
“Ada, biar kupanggilkan.” Jawab Witsa.
Ia pun memanggil ibunya.
“Ini ibumu? Apa yang terjadi dengannya?” Tanya Ali.
“Dia sakit. Kami sudah pergi kemana-mana namun tidak ada yang bias menyembuhkan penyakit ibu.” Jawab Witsa lemas.
“Sudahkah kau bawa ke rumah sakit?” Tanya Ali.
“Sudah. Tapi..kami sudah kehabisan uang. Yah kami sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.” Witsa mulai menangis. “Uang tabungan yang kukumpulkan untuk pergi ke Mekkah pun kugunakan untuk berobat ibu. Aku hanya ingin.. ibu sembuh.” Ia melanjutkan.
“Kalau begitu, ayo bawa ibumu ke rumah sakit. Biar saya yang menanggung semua biayanya.” Ali berbicara.
Witsa dan ibunya terkaget mendengar perkataan Ali. Mereka masih bingung, siapakah orang ini sebenarnya.
“Tunggu, sebenarnya Tuan siapa?” Tanya Ali.
“Aku adalah bos perusahaan tempat ayahmu bekerja. Aku menggantikan posisi ayahmu. Saat ia hendak meninggal, ia berpesan padaku untuk tetap memantau keadaan kalian dan membantu jika kalian membutuhkan bantuan.” Jawab Ali.
“Ayah berpesan seperti itu?? Alhamdulillah ya Allah!.” Ali berbicara lalu bersujud tanda rasa syukur atas rezeki yang dating tiba-tiba ini.
Mereka pun pergi ke rumah sakit. Witsa dan Ali disuruh untuk menunggu di ruang tunggu. Setelah beberapa lama, dokter pun mengatakan bahwa ibu Witsa bias sembuh, namun butuh waktu beberapa minggu. Witsa sangat senang mendengar perkataan dokter itu. Ia juga berterima kasih kepada Ali. Inilah buah hasil kesabaran yang ia petik. Sesulit apapun cobaan yang dihadapi, jangan menyerah untuk keluar dari cobaan tersebut. Tetaplah bersabar, niscaya Dia akan memberikan jalan. Sayangilah kedua orangtuamu, sebagaimana mereka menyayangimu sejak kecil.





Minggu, 15 Mei 2011

Cerpen : Indahnya Bersabar (I)

Terceritakanlah seorang anak bernama Witsa. Witsa tinggal di perkampungan kumuh yang rata-rata warganya berpenghasilan rendah. Keluarga Witsa termasuk yang cukup makmur. Rumahnya termasuk yang paling bagus jika dibandingkan dengan rumah-rumah yang lain. Maklum, ayahnya adalah bekerja sebagai pegawai kantoran. Pekerjaan penduduk lain rata-rata hanyalah bertani, berdagang, dan bahkan menganggur. Witsa bersekolah di SMA Penerus Bangsa. Letaknya tak jauh dari rumahnya. "Ayah, Ibu, aku berangkat ya." Witsa pamit kepada orangtuanya untuk berangkat sekolah sambil mencium tangan mereka. Dengan beralaskan sepatu yang sudah hampir tidak layak pakai, dia pun berjalan. Di jalan, ia bertemu dengan beberapa teman-temannya. Penampilannya agak lusuh.
"Halo, Witsa!" Sahut Erik.
"Oh halo, Erik, Mila!" Jawab Witsa.
"Kau masih menggunakan sepatu itu? Ayahmu kan cukup mampu, mengapa kau tidak meminta dibelikan yang baru?" Tanya Mila.
"Aku tidak ingin membuat orang2 memandangku tinggi. Lagipula ini masih bisa dipakai." Jawab Witsa.
Mereka pun melanjutkan perbincangan dan sampailah di sekolah. Pada hari itu dibagikan nilai Ulangan Tengah Semester. Witsa mendapatkan nilai tertinggi di semua mata pelajaran, khususnya TIK. Ia memang gemar mengulik game-game yang ada di rumahnya.
Ia pun pulang ke rumahnya untuk memberi kabar bahagia tersebut kepada orangtuanya. Seperti biasa ia berjalan kaki menuju rumah. Aneh, tak seperti biasanya, jalanan cukup sepi. Witsa pun bingung, ada apa ini. Ia pun meneruskan langkahnya. Saat sampai di depan rumahnya, ada pemandangan lain. Hampir semua warga ada disana. Ia pun menerobos masuk karena penasaran dengan apa yang terjadi. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan memang benar, ayahnya meninggal.
Sontak Witsa berlari menghampiri jasad ayahnya yang dibaringkan di tengah rumah. Ia menangis, memanggil manggil ayahnya.
"Ayah!! Ayaah!! Jangan pergi! Ayaaaaah!!" Teriak Witsa.
Namun teriakannya maupun suara pengajian tidak akan bisa membangunkan orang yang sudah tiada.
Tiba tiba seseorang datang menghampiri Witsa yang sedang memeluki tubuh ayahnya.
"Nak, sudahlah, kita do'akan saja, kita tidak tahu kapan akan dipanggil. Ayahmu meninggal karena sakit jantung mendadak saat bekerja di kantor. Semua itu kehendakNya." Sang ibu menenangkan Witsa. Namun ia tetap menangis.
"Do'a seorang anak shaleh akan lebih baik daripada tangisanmu itu." Ibunya menambahkan.
Witsa hanya terdiam dan pergi ke kamarnya. Ia merenungi kematian ayahnya, kemudian berdo'a.
"Ya Allah, jika ini memang keputusanmu, aku terima. Aku hanya ingin orangtuaku bahagia. Jangan biarkan api neraka menyiksanya, ayahku adalah seorang yang sangat baik. Jasanya padaku sangat banyak. Sebagai anak yang shaleh aku hanya bisa mendoakannya. Oleh karena itu, maafkanlah semua kesalahan-kesalahnnya ya Allah, amin."

Sabtu, 07 Mei 2011

Cerpen : Demam BlackBerry



       Andi, seorang pelajar kelas V SD, sangat menginginkan handphone BlackBerry yang sedang menjadi tren diantara teman-temannya.
“Hey, aku minta pin BB kamu, nanti aku add.” Kata Arva kepada Ari.
“20EA8DCF, add ya. Nanti kita bisa berbicara di BBM (BlackBerry Messenger). Oiya kemarin aku mentwit kamu, jawab ya.” Jawab Ari.
          Andi hanya tertunduk lesu melihat mereka. Handphone yang dimilikinya adalah handphone model lama yang diberikan ibunya sekedar untuk berkomunikasi, tidak ada fitur-fitur canggih yang ada pada handphone BB teman-temannya. Ibunya hanya berpesan kalau anak seumurannya belum boleh memakai handphone mahal, karene rawan akan kejahatan. Andi pun mengerti namun tetap ada rasa cemburu pada teman-temannya itu.
          Bel sekolah pun berbunyi, Andi berjalan ke depan sekolah dan melihat ibunya sudah menunggu dengan motor usangnya. Dia melihat Arva pun dijemput juga oleh ibunya.
“Tadi mama BBM ko tidak dijawab? Ayo kita pulang, va!” kata ibu Arva. Ternyata sekeluarga Arva memakai handphoneBlackBerry, Ayahnya pun terlihtat sedang asik memainkan handphone BB nya. Andi hanya diam dengan wajah penuh harapan dia akan mempunyai handphone tersebut.
          Sesampainya di rumah, Andi langsung menuju ayahnya.
“Yah, teman-temanku sekeluarga memakai BB. Keluarga kita tidak, Yah?” keluh Andi.
“Kamu mau BB? Nanti ayah belikan yah, tapi BB itu mahal, Andi. Jadi ayah harus mengumpulkan uang dahulu untuk bisa membeli BB.” Jawab ayahnya.
“Tapi kapan, Yah? Andi malu sama teman-teman.” Keluh Andi lagi.
“Pasti ada waktunya. Andi sabar saja yah.” Ayahnya menjawab.
          Andi kecewa dengan jawaban ayahnya tersebut. Ia membayangkan teman-temannya sedang asik mengobrol di BBM atau di Twitter. Andi pun mengurung diri di kamarnya sambil memain-mainkan handphone miliknya, membayangkan bahwa itu adalah handphone BlackBerry.
          Esok paginya, Andi sarapan dengan nasi goreng buatan ibunya. Dia tidak menghabiskan sarapannya karena tidak bernafsumakan. Maklum, semalaman dia terus memikirkan handphone Blackberry teman-temannya itu. Ia pun berangkat bersama ibunya ke sekolah Andi.
          Sesampainya disekolah, Andi sudah melihat teman-temannya asik memainkan handphopne BlackBerry masing-masing. Bahkan dia berbicara pun hampir tidak diacuhkan.
“Arva, kamu sudah siap untuk ulangan Matematika hari ini?” Tanya Andi
“Ssst. Diam dulu, aku sedang asik mengoborol dengan mama di BBM nih.” Jawab Arva dengan cueknya. Andi makin jengkel. Dia merasa tidak dianggap di kelasnya. Bahkan saat pelajaran dimulai, gurunya pun memakai handphone BlackBerry.
          Bel pulang sekolah berbunyi, namun Andi belum dijemput ooleh ibunya. Teman-temannya pun belum ada yang dijemput karena saat itu waktu pulang lebih cepat. Andi pun menelpon mamanya.
          Belum sempat berbicara, tiba-tiba Arva dan Ari mendatangi Andi.
“Andi, kamu punya pulsa?” Tanya Ari.
“Iya aku punya. Ini aku kan mau menelpon mama.” Jawab Andi.
“Boleh aku meminjam handphonemu? Pulsa kami habis nih.” Jawab Arva.
          Mendengar jawaban Arva tersebut Andi langsung tertawa terbahak-bahak. Arva dan Ari hanya memperhatikan.
“Kalian handphone Blackberry tapi pulsa saja tidak ada hahahaha.” Jawab Andi sambil tertawa.
“Ayolah kami harus menelpon orang tua kami untuk menjemput kami.”
          Belum sempat menjawab, tiba-tiba ibu Andi datang menjemput Andi. Ia langsung meninggalkan Arva dan Ari dengan muka penuh kemenangan karena merasa handphonenya lebih baik dari handphone mereka yang tidak ada pulsanya. Akhirnya Andi memurungkan niatnya untuk meminta dibelikan handphone BlackBerry kepada ayahnya karena biaya pulsanya sangat mahal.
              So, kalau memang tidak memiliki uang berlebih, tidak usah memaksakan diri membeli BlackBerry
















Jumat, 06 Mei 2011

Just Test

Bismillahirrahmanirrahim
Tes Tes

Ya semoga post awal ini memberi inspirasi ke post selanjutnya. For the readers, don't expect too much about my blog, it's just a blog.
:-bd