Senin, 16 Mei 2011

Cerpen : Indahnya Bersabar (II)


Beberapa hari telah berlalu setelah kematian ayahnya tersebut. Witsa tak pernah kehilangan semangatnya untuk hidup. Di sekolah pun ia tetap mendapatkan peringkat tertinggi. Bahkan ia jadi lebih sering menyisihkan hartanya untuk orang2 yang membutuhkan.
"Wits, kau tidak terpukul atas kematian ayahmu?" Tanya Mila di sela-sela istirahat.
"Cukup aku mendo'akannya disini. Mungkin ia sudah tenang disana." Jawab Witsa santai
"Tapi kau memang hebat, walaupun cobaan berat sedang kau hadapi, kau seperti tidak kehilangan semangat." Erik menambahkan.
Witsa hanya tersenyum. Mereka pun melanjutkan perbincangan. Lalu tiba-tiba Witsa berkata seperti ini.
"Aku ingin pergi menyentuh Ka'bah."
"Kau serius?! Tapi darimana kau akan mendapatkan uang untuk itu?" Tanya Erik.
"Aku serius. Aku sudah memimpikan bisa pergi ke sana. Aku sudah mengumpulkan uang bahkan dari kelas 6 SD." Jawab Witsa.
"Wah.. Kalau boleh tahu sudah berapa uang yang kau kumpulkan, Wits?" Tanya Mila.
"Belum banyak sih, hehe. Aku hanya menyisihkan 1rb per hari. Kalau tidak salah sudah 14 juta." Jawab Witsa.
"Ayo teruskan, Wits! Itu kan sudah banyak." Erik menyemangati.
Keinginannya untuk pergi haji muncul saat kedua orangtuanya pergi haji, saat ia masih duduk di bangku kelas 6 sd. Ia mengumpulkan uang sedikit demi sedikit dengan cara menyisihkan sebagian dari uang jajannya. Dia tetap tidak lupa menyisihkan uang untuk orang-orang yang membutuhkan. Setiap hari ia selalu bermimpi bisa menyentuhkan kakinya ke tanah suci itu.
Suatu hari, sekolah Witsa sedang libur. Ia pun tidak kemanamana.
"Ibu, kau tidak kemanamana kan? Aku akan membantumu." Witsa agak berteriak karena ibunya sedang berada di kamar.
Namun tidak ada jawaban. Ia pun penasaran lalu masuk ke kamar. Ia melihat sesuatu yang berbeda dari ibunya. Di wajahnya terdapat benjolan benjolan berwarna merah. Ditambah lagi baunya tidak sedap.
"Witsa! Kau tidak bisa melihat ibu seperti ini!" Ibunya berkata sambil sedikit menangis.
"I..ibu! Apa yang terjadi dengan wajahmu ibu!" Witsa berkata dengan sedikit terkaget.
"Ibu tidak tahu nak, saat ibu bangun wajah ibu seperti ini. Apa kata orang orang nanti." Ibu berbicara dengan nada sedih.
"Kalau begitu ibu jangan keluar rumah, biar aku yang menggantikan semua urusanmu." Jawab Witsa.
Witsa pun pergi berbelanja ke pasar. Di pasar ia pun ditanya oleh teman2 ibunya.
"Loh, Witsa. Ibumu kemana?" Tanya salahsatu ibu-ibu
"Ibu sedang sakit." Jawab Witsa.
"Sakit apa? Jangan-jangan ibumu main nakal ya semenjak ditinggal bapakmu."
"Astagfirullah! Ibu saya tidak pernah melakukan hal itu!" Tentang Witsa.
"Kalau begitu kenapa tidak keluar rumah? Pasti terkena penyakit yang menjijikan."
"Satu-satunya yang menjijikan adalah mulut kalian yang cuma bisa memfitnah!" Witsa menjawab cacian dari teman-teman ibunya itu dan langsung meninggalkan mereka.
Ia tidak habis berpikir ada yang berkata seperti itu. Tapi apa jadinya kalau ibu-ibu tadi menyebarkan isu tak sedap tentang ibunya. Dan benar saja, esok harinya setiap orang yang lewat di depan rumahnya langsung mencibir.
Bahkan ada yang terang2an mengejek. Witsa tetap sabar. Ia tetap merawat ibunya sambil memikirkan bagaimana menyembuhkan penyakit ibu.
Ah, Witsa teringat sesuatu. Ia mempunyai uang yang ia tabung untuk pergi haji. Tapi itu adalah uang hasil kerjakeras selama 4 tahun. Jika uang ini ia pakai, ia harus mengumpulkan lagi dan niat pergi haji pun terpaksa diurungkan. Ia pun berdo'a, "Ya Allah, aku tidak akan pergi haji jika ibuku dalam keadaan sakit. Aku rela semua uangku dipakai untuk menyembuhkan ibu. Yang penting ibu sembuh ya Allah."
Akhirnya ia membawa ibu ke dokter. Namun ternyata, biayanya sangat tinggi. Uang yang ia miliki pun masih tidak cukup. Ia tetap berusaha mencari alternatif lain namun tidak ada yang bisa menyembuhkan penyakit ibu.
Penyakit ibu semakin parah.
Bukan hanya wajah, kini sekujur tubuhnya pun terkena.
"Nak, kau tak perlu repot2 membawa ibu kesana kemari. Dirawat olehmu saja ibu sudah senang." Ibu menenangkan anaknya.
"Bu! Apapun yang terjadi, apapun kata orang-orang tentang dirimu, aku tak peduli. Aku akan tetap merawatmu sampai kau sembuh! Meskipun kita harus menjual semua harta kita." Witsa menegaskan tekadnya. Ibu menangis mendengar ucapan Witsa.
Satu persatu harta mereka pun dijual. TV, kulkas, radio, semua dijual. Namun masih tetap belum mencukupi untuk biaya rumah sakit. Akhirnya terpintas di benak terakhir mereka yaitu menjual rumah yang mereka tumpangi. Naas saat penjualan, mereka ditipu, sehingga uang pun tidak mereka dapatkan. Alhasil mereka kehilangan rumah. Mereka pun membuat gubuk dari kardus di pinggiran kampung. Mereka semakin dikucilkan oleh penduduk sekitar. Apadaya, mereka tak bisa berbuat banyak. Tiba-tiba dari kejauhan muncul seseorang yang mereka pun tak pernah mengenalnya. Orang itu mendatangi kediaman mereka.
“Assalamu’alaikum wr wb.” Salam orang tersebut.
“Wa’alaikumsalam wr wb. Maaf, siapa Tuan?” jawab Witsa
“Aku pendatang di kampung ini, namaku Ali. Aku datang kesini karena mendapatkan pesan dari atasanku. Benar kau yang bernama Witsa?” kata orang tersebut.
“Ya. Ada apa?? Jawab Witsa
 “Baiklah. Di dalam ada ibumu?”Tanya Ali.
“Ada, biar kupanggilkan.” Jawab Witsa.
Ia pun memanggil ibunya.
“Ini ibumu? Apa yang terjadi dengannya?” Tanya Ali.
“Dia sakit. Kami sudah pergi kemana-mana namun tidak ada yang bias menyembuhkan penyakit ibu.” Jawab Witsa lemas.
“Sudahkah kau bawa ke rumah sakit?” Tanya Ali.
“Sudah. Tapi..kami sudah kehabisan uang. Yah kami sudah tidak mempunyai apa-apa lagi.” Witsa mulai menangis. “Uang tabungan yang kukumpulkan untuk pergi ke Mekkah pun kugunakan untuk berobat ibu. Aku hanya ingin.. ibu sembuh.” Ia melanjutkan.
“Kalau begitu, ayo bawa ibumu ke rumah sakit. Biar saya yang menanggung semua biayanya.” Ali berbicara.
Witsa dan ibunya terkaget mendengar perkataan Ali. Mereka masih bingung, siapakah orang ini sebenarnya.
“Tunggu, sebenarnya Tuan siapa?” Tanya Ali.
“Aku adalah bos perusahaan tempat ayahmu bekerja. Aku menggantikan posisi ayahmu. Saat ia hendak meninggal, ia berpesan padaku untuk tetap memantau keadaan kalian dan membantu jika kalian membutuhkan bantuan.” Jawab Ali.
“Ayah berpesan seperti itu?? Alhamdulillah ya Allah!.” Ali berbicara lalu bersujud tanda rasa syukur atas rezeki yang dating tiba-tiba ini.
Mereka pun pergi ke rumah sakit. Witsa dan Ali disuruh untuk menunggu di ruang tunggu. Setelah beberapa lama, dokter pun mengatakan bahwa ibu Witsa bias sembuh, namun butuh waktu beberapa minggu. Witsa sangat senang mendengar perkataan dokter itu. Ia juga berterima kasih kepada Ali. Inilah buah hasil kesabaran yang ia petik. Sesulit apapun cobaan yang dihadapi, jangan menyerah untuk keluar dari cobaan tersebut. Tetaplah bersabar, niscaya Dia akan memberikan jalan. Sayangilah kedua orangtuamu, sebagaimana mereka menyayangimu sejak kecil.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar